Oleh Sinta
Novizah
M
|
atahari sepertinya berangkat lebih pagi di
kota ini. Gerombolan ayam saling bersautan, memecahkan mimpi yang akhirnya
mendobrak kelopak mata. Selamat pagi Yogyakarta.
Semilir angin sebagai aksen langit hari ini,
sayang jika hanya dilewatkan untuk Bermanja-manjaan dengan tempat tidur. Alasan
itu yang membawa langkah kaki makin gesit mengintimkan diri ke desa sidoharjo,
Tepus, Gunung Kidul. Sekitar dua jam perjalanan dari pusat kota Yogya, mata
akan di manjakan oleh alunan musik syahdu yang di ciptakan deburan ombak menjahili
karang, belum lagi sajian pemandangannya. Semua itu dapat dinikmati secara
gratis, cukup hanya dengan membayar parkir kendaraan saja jika membawanya.
Tidak melulu karena ombak dan pemandangannya koloni manusia terhipnotis dan
berbondong-bondong menengoknya, jejak sejarah tentang pantai sundak pun manis
untuk di ketahui.
Berada di koordinat S8°8'47.8"
E110°36'27.3", pantai sundak menyimpan cerita dan berevolusi dengan bukti
geologi yang bisa di lacak. Sisi barat pantai terdapat masjid dan tanah lapang
yang di manfaatkan untuk jejeran mobil, sedangkan sisi sebelah timur kokoh
berdiri gua yang terbuat dari karang. Di dalam batu karang setinggi 12 meter itu,
tersimpan mata air yang menjadi sumber air tawar warga sekitar.
Menelisik jejak sejarah pantai sundak, biasanya
siap berdiri lelaki tua di sekitar tempat parkir. Mbah Tugiman, begitu biasa disapa—salah satu sesepuh di pantai
sundak. Sekitar tahun 30-an, sisi barat dan timur pantai masih terendam air.
Seiring proses geologi yang mendatangi pantai selatan, permukaan laut menyusut
dan air lebih menjorok ke laut. Hal ini yang
kemudian dimanfaatkan penduduk pantai untuk membuka lahan aktivitas ekonominya
yang masih berlangsung hingga kini.
Sebelum menyandang nama Sundak, pantai ini
bernama pantai Wedibedah yang berarti pasir yang terbelah. Sebab muasal
datangnya sapaan itu, karena fenomena alam unik terjadi di pantai ini. Jika
musim hujan bersandang, sekelompok air dari daratan numpang lewat menuju lautan. Akibatnya, menyajikan pemandangan
seperti sungai yang membelah pasir di dataran sebelah timur pantai. Lain hal
jika kemarau datang, air laut berlari menyertakan pasir yang dengan segala
kerelaannya terbawa oleh ombak pantai.
Jauh setelah penamaan itu, pada tahun 1976
Wedibedah bertransformasi menjadi Sundak. Penyebabnya adalah perkelahian antara
seekor anjing dengan seekor landak laut. Perkelahian itu dimenangkan oleh
seekor anjing, dan landak laut pun harus merelakan dirinya menjadi santapan si
anjing yang lapar. Perkelahian itu diketahui oleh sebagian warga yang kemudian
mengganti wedibedah menjadi sundak—Singkatan dari asu (anjing) dan landak.
Singkat cerita, perkelahian antara anjing dan
landak laut itu tidak hanya memberi pengaruh terhadap pergantian nama pantai
itu. Tetapi juga memberikan dampak positif untuk penduduk sekitar yang kecewa
karena sumur air tawar yang telah di bangunnya tergenang air laut. Setelah
selama puluhan tahun kekurangan air, akhirnya penduduk menemukan mata air di
dalam gua tempat si anjing dan landak berkelahi.
Awan menggelap, pertanda angin malam akan
menampakkan perangainya. Suasana malam di pantai sundak juga bisa dinikmati berteman
ikan mentah untuk disantap bersama teman. Keluarkan uang beberapa ribu dari
dompet, maka kayu bakar pun akan segera melengkapi. Kalau tak selera
mengolahnya sendiri, pesan saja yang siap santap. Tidak perlu galau mengenai tempat
bermalam, Pengunjung bisa tidur di mana saja. Atau mendirikan tenda menjadi
pilihan? Jangan bingung, bangku warung yang kalau malam tak terpakai juga bisa
menjadi pilihan akhir. Tak perlu meributkan kegelapan, bukankah membosankan
jika hidup terus terang benderang?
Ayo cicipi keindahan pantai sundak, bintang
laut dan teman-temannya sudah tak sabar bermain bersama!
referensi: YogYES.COM
referensi: YogYES.COM