Kamis, 28 Juni 2012

Pandangan

Sebelumnya, video dan tulisan ini di peruntukan bagi tugas Komunikasi Antar Budaya, Stereotype Indonesia-Jerman.
Terima kasih untuk pihak-pihak yang mendukung. Terutama untuk Konsep Revolvere Project milik Fahd Djibran, Futih dan Fiersa yang menginspirasi sehingga tercipta video ini.






Pandangan


Alunan stagnan air hujan yang berkolaborasi dengan kilat, menemani kesepuluh jemariku menari diatas tuts keyboard komputer. Melintasi cakrawala dan dimensi yang takku tahu pasti.
Hai, Namaku Nomina. Aku lahir dan di besarkan di Indonesia, Negara kepulauan yang penuh dengan Sumber Daya Alam melimpah. Jangan Tanya apakah kami “Kaya”, Cukup kalian berkunjung ke Negara kami kemudian  akan mendapat jawabannya.
Beberapa bulan ini, Aku menjalin komunikasi baik dengan seorang teman baru. Regen namanya, Ia asli Jerman. Awalnya ada ketakutan yang menerjang kepercayaan diri, Aku ingat ketika seorang teman bercerita tentang pandangannya terhadap orang Jerman. Kaku, tidak humoris. Begitu kata katanya yang masih Aku ingat jelas terluncur dengan gayanya yang khas.
“Kemarin aku ketemu sama teman Kakakku, dia asli jerman. Pinter sih, tapi Kaku banget,” celoteh Rainy di depan kelas.
Tentunya itu menjadi bahan perbincangan yang menarik untukku dan beberapa teman sekelasku.
“oh ya? Katanya orang jerman keras kepala ya?” timpal Yagis.
“Iya, Gis. Terus perfeksionis banget, tepat waktu lagi,” Kisa menambahkan.
Karena tidak punya pengalaman apapun dengan Orang Jerman, bahkan mendengar selintingan sifat mereka pun Aku tak. Oleh karena itu, Aku hanya menjadi pendengar yang baik saja.
***
Seiring berjalan waktu, Aku dan Regen semakin dekat. Banyak hal yang aku ceritakan padanya, begitu juga dia. Belakangan ini aku baru tahu, bahwa Orang Jerman pun mempunyai warna-warni pandangan terhadap orang Indonesia. Yang Ia ceritakan padaku, Mereka (orang Jerman) beranggapan bahwa orang Indonesia itu Penakut.
“Kamu tahu Nomina, awalnya aku kira semua orang Indonesia penakut dan pemalas,” tulisnya dalam bahasa Inggris di suatu Jejaring sosial.
“Hahaha, Lalu bagaimana pendapatmu setelah mengenalku?” Jawabku singkat.
“Bukan Cuma itu, kami menganggap  kalian adalah orang yang extrovert dan low profile juga family oriented,” sambungnya.
Percakapan kami terus berkembang, Menambah pengetahuanku tentang banyak hal yang tidak ku ketahui sebelumnya.
Ah, terjawab sudah semua hal yang memenuhi pikiranku sebelumnya. Sudah saatnya lebih empati dan membuka diri untuk mengenal dan berdamai dengan perbedaan.

Fiersa Besari - Melangkkah Tanpamu

Pagi mengetuk mata menamatkan sang mimpi
Dan satu malaikat, dia tertinggal disini
Apa yang telah kuperbuat? Menghancurkan semuanya
Satu khilaf berbisik, dua hati terpecah
Adakah jalan pulang untukku?
Aku yang bodoh melepasmu
Hal terbaik yang pernah ada di hidupku
Kini aku tak tahu
Bagaimana cara melangkah tanpamu
Terhempas tak membekas, bisu dan air mata
"Maaf" tidak berguna, rapuhku tanpa arah
Adakah jalan pulang untukku?
Aku yang bodoh melepasmu
Hal terbaik yang pernah ada di hidupku
Kini aku tak tahu
Bagaimana cara melangkah tanpamu
Retak menyisakan jejak tak terhapus
Dimana kau kini? Sungguh aku rindu

Senin, 18 Juni 2012

Kematian

Hari minggu yang cerah, hari yang biasanya aku manfaatkan untuk berleha-leha di rumah. Tiba-tiba handphoneku bergetar, ada pesan masuk. Seperti biasanya, dengan malas aku membuka pesan tersebut. Namun ini bukan hal yang biasa, karena setelah membacanya aku bergetar antara percaya dan tidak. Pesan tersebut mengabarkan kepergian temanku dari dunia ini. Ia meregang nyawa dalam kecelakaan di daerahnya.
***
Sepertinya, harus selalu siap menunggu dosen yang telat tanpa batas waktu yang pasti. Sembari menunggu, temanku bercerita tentang salah satu mahasiswi di kampusku yang juga mengalami kecelakaan. Bedanya, Ia masih diberikan kekuatan untuk tetap memperjuangkan hidupnya di ruang ICU.
Ah… entah bagaimana caranya, kedua berita itu mampu mengambil bagian di pikiranku. Bukan hanya itu, orang tuaku juga jadi lebih sering menasehatiku untuk tidak menggunakan sepeda motor dengan kecepatan yang berlebih. “gak kok, tata bawa motornya pelan,” selalu itu jawabku.
Mungkin rasa kehilangan yang di takutkan, bukan kematiannya. Setiap orang mungkin sadar bahwa setiap harinya kematian itu dekat, bahkan teramat dekat. Meskipun begitu, masih banyak orang yang berusaha mengalihkannya dan menunda untuk menyiapkan bekal perjalanan itu.
Huh, hari ini membosankan.
***
Terik matahari sepertinya bersaing dengan semangkuk mie ayam yang aku beli sepulang kuliah siang ini. Setelah melahap habis makan siangku itu, aku menyalakan televisi. Sempat mengganti-ganti channel. Hampir semua tayangan membosankan, akhirnya aku berlabuh pada channel yang di belakang namanya ada embel-embel “family”. Mindsetku ini tontonan untuk keluarga, sudah pasti menyenangkan. Ya, aku memang tidak salah karena memang film itu bagus.
Film itu menceritakan sebuah keluarga yang orangtuanya harus berpisah. Singkat cerita, Kematian yang akhirnya menjelaskan kesalah pahaman yang ada diantara keluarga itu. Yang mengharukan adalah ketika kedua anaknya yang masih dalam usia belia harus menerima perpisahan kedua orang tuanya beserta berita penyakit yang diderita ibunya. Kanker.
Dua ribu dua belas. Tentunya kalian tahu, suku maya meyakini bahwa tahun ini adalah akhir jaman. Jangan Tanya aku, aku tidak tahu. Hanya kuasaNya yang dapat diyakini.
***
Kematian. Entah, aku sendiri tidak tahu kapan waktu itu datang padaku. Menghentikan waktuku di dunia. Yang aku tahu, dia (Kematian) akan datang tanpa meminta persetujuanku. Menanyakan kesiapan serta persiapanku.
Malas berangan-angan. Jika dia datang merenggut orang-orang yang aku sayangi. Tegas aku katakan, aku tak pernah siap. Tapi, apa dia mengerti?

Jakarta, 07 Desember 2011/31 Mei 2012