Senin, 28 Oktober 2013

Melirik Pesona Pantai Sundak

Oleh Sinta Novizah


M
atahari sepertinya berangkat lebih pagi di kota ini. Gerombolan ayam saling bersautan, memecahkan mimpi yang akhirnya mendobrak kelopak mata. Selamat pagi Yogyakarta.

  
 Semilir angin sebagai aksen langit hari ini, sayang jika hanya dilewatkan untuk Bermanja-manjaan dengan tempat tidur. Alasan itu yang membawa langkah kaki makin gesit mengintimkan diri ke desa sidoharjo, Tepus, Gunung Kidul. Sekitar dua jam perjalanan dari pusat kota Yogya, mata akan di manjakan oleh alunan musik syahdu yang di ciptakan deburan ombak menjahili karang, belum lagi sajian pemandangannya. Semua itu dapat dinikmati secara gratis, cukup hanya dengan membayar parkir kendaraan saja jika membawanya. Tidak melulu karena ombak dan pemandangannya koloni manusia terhipnotis dan berbondong-bondong menengoknya, jejak sejarah tentang pantai sundak pun manis untuk di ketahui.



Berada di koordinat S8°8'47.8" E110°36'27.3", pantai sundak menyimpan cerita dan berevolusi dengan bukti geologi yang bisa di lacak. Sisi barat pantai terdapat masjid dan tanah lapang yang di manfaatkan untuk jejeran mobil, sedangkan sisi sebelah timur kokoh berdiri gua yang terbuat dari karang. Di dalam batu karang setinggi 12 meter itu, tersimpan mata air yang menjadi sumber air tawar warga sekitar.


Menelisik jejak sejarah pantai sundak, biasanya siap berdiri lelaki tua di sekitar tempat parkir. Mbah Tugiman, begitu biasa disapa—salah satu sesepuh di pantai sundak. Sekitar tahun 30-an, sisi barat dan timur pantai masih terendam air. Seiring proses geologi yang mendatangi pantai selatan, permukaan laut menyusut dan air lebih menjorok ke laut.  Hal ini yang kemudian dimanfaatkan penduduk pantai untuk membuka lahan aktivitas ekonominya yang masih berlangsung hingga kini.


Sebelum menyandang nama Sundak, pantai ini bernama pantai Wedibedah yang berarti pasir yang terbelah. Sebab muasal datangnya sapaan itu, karena fenomena alam unik terjadi di pantai ini. Jika musim hujan bersandang, sekelompok air dari daratan numpang lewat menuju lautan. Akibatnya, menyajikan pemandangan seperti sungai yang membelah pasir di dataran sebelah timur pantai. Lain hal jika kemarau datang, air laut berlari menyertakan pasir yang dengan segala kerelaannya terbawa oleh ombak pantai.

Jauh setelah penamaan itu, pada tahun 1976 Wedibedah bertransformasi menjadi Sundak. Penyebabnya adalah perkelahian antara seekor anjing dengan seekor landak laut. Perkelahian itu dimenangkan oleh seekor anjing, dan landak laut pun harus merelakan dirinya menjadi santapan si anjing yang lapar. Perkelahian itu diketahui oleh sebagian warga yang kemudian mengganti wedibedah menjadi sundak—Singkatan dari asu (anjing) dan landak.

Singkat cerita, perkelahian antara anjing dan landak laut itu tidak hanya memberi pengaruh terhadap pergantian nama pantai itu. Tetapi juga memberikan dampak positif untuk penduduk sekitar yang kecewa karena sumur air tawar yang telah di bangunnya tergenang air laut. Setelah selama puluhan tahun kekurangan air, akhirnya penduduk menemukan mata air di dalam gua tempat si anjing dan landak berkelahi.



Awan menggelap, pertanda angin malam akan menampakkan perangainya. Suasana malam di pantai sundak juga bisa dinikmati berteman ikan mentah untuk disantap bersama teman. Keluarkan uang beberapa ribu dari dompet, maka kayu bakar pun akan segera melengkapi. Kalau tak selera mengolahnya sendiri, pesan saja yang siap santap. Tidak perlu galau mengenai tempat bermalam, Pengunjung bisa tidur di mana saja. Atau mendirikan tenda menjadi pilihan? Jangan bingung, bangku warung yang kalau malam tak terpakai juga bisa menjadi pilihan akhir. Tak perlu meributkan kegelapan, bukankah membosankan jika hidup terus terang benderang?

Ayo cicipi keindahan pantai sundak, bintang laut dan teman-temannya sudah tak sabar bermain bersama!


referensi: YogYES.COM