Jika
kita sebuah rumah, maka akan selalu ada cara untuk menemukan jalan pulang.
Tapi,
pernahkah kita berpikir tentang sejauhmana telah tersesat dan berusaha
menemukan jalan pulang?
Ada
banyak jawaban tentang itu.
Usaha
yang kurang maksimal atau kita bukan jalan pulang dan memang tidak pernah ada
jalan pulang untuk kita.
Berhenti
berpura-pura kalau kita baik-baik saja.
Kebosanan
mungkin saja sedang melingkupi kita, atau memang kita yang membosankan?
Cobalah
untuk jujur satu sama lain.
Jangan
beranggapan takut menyakiti, bukankah ini lebih menyakitkan?
Mengabaikan
atau diabaikan?
Kita
berada di dunia antara yang penuh dengan situasi atau.
Cukupkan
mengira-ngira, pilihannya hanya ada maju atau mundur.
Jika
kata nyaman tidak pernah teridentifikasi dari kita, bukankah lebih baik kita
berjalan masing-masing?
Apa
yang dicari dari ketidaknyamanan?
Nyatanya,
akan selalu ada kata kurang dalam makna lain dari melengkapi.
Namun,
jika kita terus menerus bersikap kekanak-kanakan. (Si)apa yang akan
mendewasakan?
Ketika
keadaan yang diharapkan untuk langkah kita ke depan dipaksa stagnan karena
keadaan lain, masih bisa kita mengharapkan sesuatu yang tidak terencana?
Pada
tahap ini, selalu ada yang tersisih dan menyisihkan.
Tidak
perlu memaksakan untuk tetap kita, bebaskan saja kekang yang mungkin secara
tidak sadar tercipta.
Kita
tidak akan pernah menciptakan pondasi rumah yang kuat, jika bahan-bahan yang di
cicil hanya ketidak percayaan, umpatan, ketidak nyamanan, ketidak jujuran dan
lainnya yang semakin menyatakan bahwa kita hanya rumah fatamorgana. Sebatas
ilusi yang kita ciptakan sendiri.
Pada
batas ini, apakah kita jalan pulang?
Kalau tidak, bukankah
belum terlambat untuk membangunnya?