|
"Ikuti kata hatimu, temukan jalan pulang–temukan aku di setiap jejakmu," |
Heilga –
“Kita akan bertemu di ujung jalan sana, saat ini aku
harus menapaki mimpiku,” katamu di akhir perjumpaan kita yang akan menjadi awal
cerita.
***
365 hari yang lalu, kamu memilih untuk meninggalkanku
bersama rasa yang telah lama kita susun.
Hari itu kamu membuat tubuhku tak berdaya, begitu juga
hatiku yang terlanjur hancur.
“Apa mimpimu gak ada aku?” tanyaku sendu.
“Bukan begitu, aku takut kamu gak bisa tahan sama
keadaan nanti,” jawabmu.
“Kamu yang gak bisa bertahan untuk tetap ada aku!”
Aku marah, pergi dan sebisa mungkin tak menoleh.
Itu pertemuan terakhir kita, 168 jam kemudian kamu pergi
menjemput mimpimu.
Tanpa peluk perpisahan dariku.
***
Suatu hari, di batas senja yang menaungi langit kita
yang terpisah jarak— aku kembali menyelami dermaga kenangan yang mengabadikan
kisahmu, kisahku. Aku rindu kamu.
“Semoga Tuhan selalu mengundur perpisahan kita,” doamu
di hari terik dengan semilir angin menggoda di kota kita.
Hanya ku balas senyum, sebenarnya bercampur haru. Dengan
perasaan yang berbunga, tak pernah aku berpikir kamu akan tega meninggalkanku.
Kamu menggenggam tanganku, merambat ke hatiku.
***
Lamunanku di teras rumah terhenti saat deringan ponsel
mengembalikanku pada kenyataan.
“Aku pulang heilga, aku mau menjelaskan banyak hal sama
kamu. Bisa kita ketemu?” tanpa basa-basi suara yang akrab di telinga itu
terdengar.
***
Ferno—
“Kita akan bertemu di ujung jalan sana, saat ini aku
harus menapaki mimpiku,” kataku di akhir perjumpaan kita yang akan menjadi awal
cerita.
***
365 hari yang lalu, aku memilih untuk mengakhiri kebersamanku
dengan seorang gadis yang wajahnya selalu dilukiskan oleh langit dikala
matahari perlahan pamit.
Hari itu mungkin aku sudah membuat hatinya hancur.
Maafkan aku.
“Apa mimpimu gak ada aku?” tanyamu dengan tangis
tertahan.
“Bukan begitu, aku takut kamu gak bisa tahan sama
keadaan nanti,” jawabku.
“Kamu yang gak bisa bertahan untuk tetap ada aku!”
Kamu marah, pergi Dan tak sedikitpun menoleh padaku.
Itu pertemuan terakhir kita, 168 jam kemudian aku pergi
menjemput mimpiku.
Tanpa peluk perpisahan darimu.
***
Suatu hari, di batas senja yang menaungi langit kita
yang terpisah jarak— aku kembali menyelami dermaga kenangan yang mengabadikan
kisahmu, kisahku. Aku rindu kamu.
“Ferno, kamu yakin gak kalo suatu hubungan akan baik
baik saja tanpa komunikasi baik?” Tanyamu di hari terik dengan semilir angin
menggoda di kota kita.
“maksudmu?” Aku pura-pura tak mengerti.
“Kamu percaya Long Distant Relationship?” Jelasmu
singkat.
Belum sempat mengemukakan pendapatku, kamu sudah
menjawab sendiri pertanyaanmu. “Aku enggak,” Tegasmu sembari melempar senyum
untukku.
Seketika aku dibungkam oleh senyum indahmu, lenyap semua
jawaban yang sedari tadi ingin aku ungkapkan. Kamu memang begitu, selalu
membuat aku terhipnotis dengan lengkungan bibir yang kamu sodori.
Heilga, Jika kamu ingat hari itu, tentunya kamu akan
mengerti keputusanku untuk meninggalkanmu. Hanya sementara Heilga, sampai aku
bisa menaklukan mimpiku dan membangun mimpi baru bersamamu.
***
Hari ini, aku menapaki kembali tanah kota yang pernah
kita jejaki. Segera aku mengambil ponsel di kantong celana dan menghubungimu, “Aku
pulang heilga, aku mau menjelaskan banyak hal sama kamu. Bisa kita ketemu?”
***
Sampailah kita di ujung jalan, Kamu akan selalu jadi
jalan pulang untukku. Kamu akan selalu jadi penuntun jalan untuk hatiku yang
tersesat.