Mungkin
ini hanya sedikit intermezzo dari kepenatan rutinitas saja. Tapi kini aku ingin
membahana memperluas lagi angan-angan yang mungkin tidak pada tempatnya.
Hahahaha
bolehlah aku atau bahkan kalian tertawa karenanya.
Dari
sembilan mata kuliah yang harus aku jalani semester ini, entah mengapa hampir
semuanya menanyakan “Cita-Cita”. Hal yang sangat familiar ditelinga, bahkan sejak
duduk di sekolah dasar. Pertanyaan itu tidak perlu lagi aku pikirkan, hanya
tinggal menjawabnya saja.
Tapi,
ada keraguan saat ini yang hadir ketika pertanyaan itu dilayangkan padaku.
Mungkin benar kata seorang teman yang mengejekku karena bingung dengan
cita-citaku sendiri. “Suram hidup lu gak
punya cita-cita.”
Bukan,
bukan karena tak ada bayangan sedikitpun yang melintas ketika pertanyaan itu
lagi lagi memenuhi ruang pikiranku. Saat ini bukan lagi dilatar belakangi hobi
maka aku memilih cita-cita. Tapi lebih kepada kebaikan-kebaikan serta
keburukannya, kemudian skill ku. Aku pernah beberapa kali membaca buku yang
isinya menganjurkan untuk membagi semua rasa ke setiap makhluk. Aku ingin
sekali menjadi penebar kebaikan, tapi apa mediaku?
Aku
juga pernah ingin menjadi penyambung lidah untuk orang-orang yang tertindas,
tapi skill ku?
Aku
tetap belajar untuk itu.
Pernah
suatu ketika aku menangis, menangis yang berlebihan. Mungkin amat sangat
berlebihan dan pertama kalinya aku lakukan didepan orang lain. Ada rasa yang
mendorongku untuk mencurahkannya saat itu juga. Bukan karena kebencianku pada
orang yang membuatku menangis, tapi kebencianku pada diriku sendiri yang tidak
mampu berbuat apapun. Bahkan untuk membela diriku sendiri. Menyedihkan.
Bagaimana
aku bisa membawa kebaikan untuk orang lain, sedangkan untuk diriku sendiri saja
aku masih merabah. Tidakkah orang lain lebih iba melihatku?
Sebuah
pledoi yang luar biasa memalukan.
Bukan
karena takut dikatakan tidak konsisten karena merubah cita-citaku, menurutku
hal itu lazim saja dilakukan. Tapi, aku tetap pada cita-cita masa kecilku.
Menjadi seorang penulis.
Dengan
menulis aku mampu mengabarkan kehidupanku kepada orang-orang setelahku nanti.
Mungkin anakku, cucuku, cicitku atau bahkan keturunanku yang ke-7?
Aku
mampu mengabarkan kepadanya, bahwa aku ada. Dan mereka bisa mengenalku lewat
itu, tulisanku. Tentu saja beriringan dengan terus belajar “menulis”.
Prihal
berbagi kebaikan, aku juga mampu melakukannya melalui tulisan. Bukankah banyak
pengetahuan yang lahir dari bacaan, sekalipun bacaan tidak penting layaknya
tulisan ini?
Hahaha,
terlalu banyak tanda tanya dalam tulisan ini. Pada intinya, jika ada yang
bertanya padaku tentang cita-cita, maka penulis lah cita-citaku.
Cita-cita…..
bukan profesi :)