Langit sepertinya sedang berselingkuh dengan
terik, menanggalkan hujan yang masih bersembunyi dibalik kemarau. Hari itu kali
pertama kamu menyambangi kotaku. Seperti banyak orang yang mempersiapkan
sesuatu untuk menyambutmu, aku juga sedang mempersiapkan segala sesuatu untuk
keberangkatanku mengadu nasib di tempat yang belum pernah aku singgahi
sebelumnya.
Walau tidak terlalu mengenalmu, aku sedikit tahu
tentang sosok yang dielukan banyak orang itu. Sambutan meriah datang bersamaan
dengan berita-berita yang santer seantero kota. Kamu memang mengagumkan.
Beberapa hari kemudian...
Senada dengan kesedihan yang dirasakan para penggemar
atas kepulanganmu, aku juga harus menggenapkan hati meniti langkah menjauh dari
orang-orang yang aku sayangi. “Jangan menangis,” kataku berusaha kuat.
Rabu sore itu, peluk erat seorang Ibu
meruntuhkan dinding ketegaran yang telah tertanam sejak aku menetapkan
keputusan untuk pergi. Berlatar kesibukan manusia yang hilir mudik mengejar
jadwal keberangkatan, aku melenggang sendiri tanpa pantauan keluarga untuk
pertama kalinya.
Hey aku melihatmu, kamu berjalan gagah sembari
menebar senyum pada setiap orang yang meneriaki namamu. Aku hanya menoleh
sebentar dan kembali meratapi kepergianku.
Entah berapa banyak orang yang akan iri, jika
mereka tahu tentang seseorang yang duduk tepat di sampingku. Sedikit kaget, aku
melempar senyum yang dengan cepat kamu balas.
Perjalanan itu terasa sangat lama saat dijalani hanya
dengan berdiam. Untuk itu aku beranikan diri membuka pembicaraan denganmu,
“Bagaimana kunjungannya? Menyenangkan?” Tanyaku sok kenal. “Ya, sangat
menyenangkan bisa bersenang-senang dan bertemu dengan orang-orang yang ramah,”
Jawabmu.
Obrolan itu menjadi panjang dan lebih dalam saat
kamu bertanya tentang tujuanku dan apa yang akan aku lakukan disana. Kamu orang
yang menyenangkan, tak salah jika banyak orang yang menggilaimu.
Kita sampai pada tujuan yang sama, saatnya
berpisah. Lagi-lagi kedatanganmu disambut oleh kerumunan orang. Aku menghilang
dibalik sorot pandang orang-orang kearahmu. Semoga bisa bertemu lagi, selipan
doa itu begitu saja meluncur bersama mesin yang memutar tasku.
***
Sudah enam bulan aku menjajal peruntunganku
sendiri. Aku sering melihatmu, banyak acara yang mengundangmu. untuk pertemuan
secara langsung, aku masih menunggu.
Aku berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan
baru yang harus aku jalani. Disini cuaca sangat signifikan dengan kotaku, bukan
hanya cuacanya saja yang berbeda, banyak hal yang harus aku pelajari untuk bisa
beradaptasi dengan lingkungan tempat aku beraktivitas.
Ini kali pertama kita bertemu setelah hari itu,
kamu mengunjungi tempat aku belajar. Karena banyak teman-teman yang
mengerubungimu, aku hanya memantau dari kejauhan sembari berharap kamu
mengenaliku. Aku keliru.
Terlalu berharap akan menyakiti diriku sendiri, pikirku seiring gontai langkah makin menjauhi keramaian itu. Setelah hari itu, harapanku semakin menipis untuk bisa bertemu denganmu (lagi). Hal itu semakin mungkin saat tugas terus menerus menyita waktu. Cepat pulang–hanya itu yang terlintas diotakku.
***
Dua tahun sudah sejak pertemuan kita dan harapan itu terkikis, aku akan kembali kekotaku dengan membawa rindu tak terbendung untuk keluarga. Langkahku kini semakin kokoh menyokong tas yang penuh berisi.
Menuju tempat armada yang akan membawaku pulang, ku sisipkan membeli beberapa hadiah untuk orang terdekat. Tak terduga, aku melihatmu sedang menjalani wawancara dengan latar jalanan penuh orang berlalu lalang. Mustahil akan berlalu saja saat melihat sosokmu, kerumunan orang kini mendekatimu. Aku diburu waktu.
Setelah menggenapkan daftar belanjaku, aku segera melanjutkan jalan pulang. "Hai, Apa Kabar?" Mungkin itu akan menjadi pertanyaan penutup darimu. Aku harap tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar