Selasa, 16 Agustus 2011

feature pertama saya (˘♥˘)

tulisan ini, berubrik profil. 
kali ini profilnya mas wahai (Wahyu), ini udah hasil editan dari ka ayu dan ka novi.
jadi thanks to-nya buat ORIENTASI :D

okeh silahkan dibaca tulisannya.


Sepenggal kisah sang pengobrol handal 
Karena mengobrol adalah awal dari setiap rasa


Adzan isya terdengar syahdu. Bersahutan satu sama lain, memberi isyarat bahwa shalat tarawih akan segera dilaksanakan. Namun, orang yang ditunggu-tunggu belum juga hadir. Tiba-tiba terdengar langkah berat yang menaiki anak tangga lantai tiga Pusat Kegiatan Mahasiswa (Pusgiwa), Universitas Mercu Buana (UMB). “Itu kayaknya Wahyu,” ujar seorang teman menebak langkah yang semakin mendekat. Benar saja, itu Muhammad Wahyu Ariyanto, koordinator presidium Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ) ’09. “biasa, habis pemotretan nih,” candanya dengan senyum yang khas tanpa menunggu untuk ditanya. Seperti ritual yang tidak pernah lepas, diambilnya koran dan sebatang rokok yang siap menemaninya menembus malam. Tas besar berwarna hitam yang dibawanya telah diletakkan sebelumnya dalam ruangan yang tidak terlalu besar. 

Bersama asap rokok yang menari di udara, Wahyu biasa ia disapa, menerobos waktu untuk mengingat pertama kali ia mengenal FPMJ. Semua bermula dari ajakan senior di Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) ORIENTASI yang diikutinya. “Awalnya gue diajak Mail (senior ORIENTASI) ke FPMJ, disana gue ketemu sama senior-senior dari berbagai Lembaga Pers Mahasiswa (LPM),” kenangnya dengan pandangan hilir mudik menatap langit malam. Kurangnya analisis wacana yang dimiliki, diakuinya sebagai latar belakang berkecimpung di FPMJ. “FPMJ adalah wadah yang dapat menyuplai wacana kritis di kalangan pers mahasiswa (Persma),” ucapnya dengan sorot mata tajam mengalahkan pantulan bulan yang malu-malu untuk pentas. 

Diiringi lagu ‘When You Love Someone’ pria yang beberapa hari lagi menginjak usia 22 tahun ini juga menceritakan tentang serentetan agenda yang dilaluinya saat berkumpul dengan LPM-LPM yang tergabung dalam FPMJ. Dengan dalih ingin membangkitkan FPMJ sesuai kebutuhan setiap LPM, muncullah ide untuk membuat kongres dengan tema utama ‘Semangat Tanpa Batas’. Sesuai dengan tema yang diusung, semangat itupun yang tersirat saat pria yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren ini bercerita tentang perjuangannya. Mulai dari membantu melahirkan LPM baru sampai memperjuangkan LPM yang akan digugurkan oleh pihak kampus. Bak seorang dokter yang sigap menangani pasien yang membutuhkan pertolongannya. 

Menelusuk lebih dalam lagi, Wahyu mengisahkan tentang alasan dipilihnya sebagai koordinator presidium FPMJ. “Kecelakaan sejarah!” celetuk seorang teman yang ikut duduk santai menikmati angin malam saat itu. Kesunyian pun pecah dengan gelak tawa yang seolah memberikan jeda untuk mengakhiri hisapan terakhirnya. Silaturahmi yang baik, kedekatan, serta kepercayaan rekan-rekannya di FPMJ diakuinya sebagai latar belakang pria yang senang bersosialisasi ini terpilih. “Gue suka banget ngobrol, jadi hampir semua anggota LPM kenal gue. Sekret mana sih yang belum pernah gue tidurin,” ungkapnya sambil menahan tawa. Pria dengan perawakan kecil dan berkaca mata ini berpendapat bahwa mengobrol adalah awal dari setiap rasa. 

Karena disajikan dengan obrolan yang berbeda itulah yang menjadi alasannya berada di UKPM ORIENTASI. “Disana (ORIENTASI), gue ngobrol sambil belajar,” kenangnya. Memantapkan karakter, dialektika, wacana, serta mengasah penyadaran diri jugalah yang membuatnya bertahan di organisasi yang telah dianggap bagian dari keluarganya. 

Sebagai Divisi Hubungan Luar (Hublu) di UKPM ORIENTASI saat itu, tentunya tamat bagi wahyu untuk menjamah setiap tempat yang dapat membawa sesuatu yang bersifat positif untuk organisasinya. Oleh karena itu Wahyu sering menghadiri pameran-pameran yang dilaksanakan di berbagai sudut Jakarta. Sampai suatu hari tercipta pengalaman tak terlupakan sampai detik ini. “Gue datang ke pameran saat pamerannya belum dibuka, dan dengan santainya gue udah makan duluan,” ucapnya dengan tawa yang tak bisa terhindarkan lagi. “Gue baru tahu kalau pamerannya belum dibuka setelah ada panitia yang negur gue dengan ironi,” lirih suaranya menerawang ke hari itu. Petualangannya menaklukan pameran-pameran tak berakhir meskipun ia harus menanggalkan jabatannya sebagai Hublu dan beralih menjadi Litbang, Pemimpin Umum atau Pemimpin Redaksi sekalipun. 

Boneka kain yang berada tepat di atas kepala menari-nari mengikuti arah angin berlarian, seolah menemani Wahyu mengenang masa keemasannya, menuturkan berbagai pengalaman yang menjadikannya seperti saat ini. “Semua terbayar dengan karakter gue saat ini,” tutur pria yang juga aktif dalam kelompok study pasar modal, pojok bursa UMB ini. 

Mungkin Wahyu masih harus bertarung dengan waktu. Mulai dari bekerja sebagai karyawan di restoran cepat saji sampai turut membantu orang tuanya menjaga warung kopi telah dilakoni demi menyambung pendidikan yang telah dijalaninya. “Gue enggak mau ngambil beasiswa yang menyertakan surat miskin, karena gue masih mampu,” paparnya. Lebih lanjut ia menjelaskan, “miskin itu menurut gue, ada buat hari ini aja. Besok enggak tahu, dan gue enggak masuk golongan itu”. Wahyu juga menceritakan tentang kebiasaannya membawa kecap kemanapun ia pergi. Hal ini dilakukan sebagai bentuk antisipasi jika tidak ada lagi teman makan untuk disantap. “Berat hidup gue boy,” tambahnya sambil sibuk mencari sesuatu. Gerakan tak beraturan itu pun terhenti ketika Sesuatu yang dicarinya telah ditemukan, korek gas ternyata. 

Sejenak letupan api menyambar ujung rokok kedua, dan Ia pun kembali bercerita. Menjadi seorang wartawan merupakan suatu hal yang tak pernah terpikirkan olehnya. Karena menurutnya, dengan latar belakang keluarga yang cukup sederhana ini tak mendukungnya untuk menjadi Pejuang Pena. Selain itu, ketakutannya akan realita yang terjadi di dunia kerja wartawan saat ini makin mengurungkan niatnya untuk menjalani profesi tersebut. “Gue lebih baik nambal ban, daripada harus jadi wartawan yang ngejual idealisme gue,” paparnya berapi-api. “Tapi, kalo nanti gue jadi wartawan itu bonus buat gue,” tambahnya dengan pandangan penuh ke layar telepon genggam yang sedari tadi rewel bagai bayi kehausan. 

Disaksikan bangku panjang yang sedikit usang Wahyu bercerita tentang usaha yang belum lama ia geluti. Kerajaan Alarm, begitu ia menyebut usaha yang saat ini dijalani bersama ayahandanya. Kerajaan alarm adalah aplikasi alarm yang dapat dipasang di kendaraan bermotor sebagai kesiagaan dari tangan panjang yang usil. Terobosan ini tercipta dari hasil eksperimen Sang Ayah yang mahir bermain dengan lilitan kabel mobil. “Jadi itu hasil dari iseng-isengnya gue sama bokap,” jelasnya tersenyum. “Tapi belum ditekunin lagi nih, kemarin kejeda sama skripsi gue,” sambungnya lemas. 

Kini, gelar sarjana ekonomi dengan nilai A telah digenggamnya. Wahyu menganggap bahwa FPMJ adalah narasi besar, dan narasi besar itulah yang semakin dihindari oleh mahasiswa saat ini. “Mereka sudah terlalu lelah membayangkan sesuatu yang besar, sehingga terhenti pada narasi-narasi kecil saja,” ucapnya serius. Hari-hari ke depannya tentu akan ia jalani lebih berwarna lagi dari hari ini, “Semoga FPMJ tetap menjadi wadah untuk menggali intelektualitas dan wacana Persma, tanpa menegasikan kontribusi Persma tersebut terhadap FPMJ,” pekikan harapan itulah yang mengakhiri perbincangan malam itu. (Sinta Novizah)

2 komentar:

  1. astagfirullah, maapin aku ya allah.
    aku menyesal novi cat, karna sudah membuat mas wahai terkenal. hahaahahhaa

    BalasHapus