Judul Buku : Tak Sempurna
Penulis : Fahd Djibran, Bondan Prakoso & Fade2Black
Penerbit : Kurniaesa Publishing
Tahun Terbit : 2013
Tebal Halaman : 245 Hal
Terik matahari petang ini menemaniku menyantap lembaran terakhir sebuah buku. Tak Sempurna, demikian novel hasil kolaborasi Fahd Djibran dan Bondan Prakoso & Fade2Black berjudul. Novel yang memiliki delapan belas bab dengan 245 halaman ini menyuarakan tentang sistem pendidikan di Indonesia. Sebagai seseorang yang telah melalui fase pendidikan menengah atas, rasanya setiap rangkaian kata yang menggambarkan peristiwa di bangku sekolah sangat nyata. Membawa pembaca kembali ke ruang kelas masing-masing dengan sejuta cerita di dalamnya. Cerita khas anak sekolahan, Guru yang menyebalkan, umpatan untuknya, paksaan menguasai pelajaran yang tidak disukai, bolos, tertawa, kemarahan, sudut kelas yang selalu jadi tempat favorit para guru menghukum anak-anak pembangkang. Hah, aku ingat!
Di novel ini, lebih di khususkan pada
kegemaran para pelajar yang barangkali sudah menjadi “langganan” di hampir setiap
sekolah. Ya, Tawuran antar pelajar.
Di wakilkan oleh Rama Aditya Putra, seorang
pelajar di salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) yang menjabarkan pandangannya
tentang sekolah. Meminta penjelasan tentang siapa yang harus di salahkan untuk
kesemerautan pendidikan di Negara ini.
Rama, anak dari keluarga Broken Home yang bersekolah di lingkungan teman-teman yang nasibnya
tidak jauh darinya, dia merasa ada yang salah dengan sistem pendidikan. Tempat menimba
ilmu yang malah menjadi momok menyeramkan dan latar belakang pengenalan
terhadap hal-hal negatif. Tempat lahirnya kata-kata kasar mulai menjadi bahasa
sehari-hari yang dianggap lazim.
Minggu pertama memasuki sekolah, Rama dan
teman-temannya di kenalkan oleh kekerasan yang dilakukan oleh senior-seniornya
bahkan alumni dari SMAnya. Mereka di berikan “pencerahan” yang membawanya ke lembah
hitam dan kemudian merubah kehidupannya 180o. Sejak saat itu, mereka
harus membalaskan dendam yang sudah turun temurun namun tidak jelas diketahui
alasannya.
Tawuran yang terjadi bahkan harus
menghilangkan dua nyawa generasi harapan bangsa dari kedua belah pihak. Dua
nyawa yang dipaksa melayang karena alasan yang sepele. Tawuran itu juga yang
akhirnya membuat Rama mengikhlaskan kaki kirinya di amputasi, sekaligus
merenggut salah satu cita-citanya–Olahragawan.
Namun, hal itu yang akhirnya membawa Rama pada
pencerahan sebenarnya. Dari situ juga Rama menemukan kembali kebahagiannya yang
sempat hilang atau luput dari pandangannya, Rama menemukan kembali sosok Ayah
dan Ibu yang selama ini dia rindukan. Menemukan jalan pulang, tempat dimana dia
menyimpan kebahagiaan masa kecilnya.
Meskipun pada awalnya sulit menerima kenyataan
bahwa Kaki kirinya kini lebih pendek dari kakinya yang lain, Rama mulai bisa
menerima keadaannya. Bahkan keadaan ini yang membawa Rama lebih dekat dengan
Bunga, teman sekelas yang sejak lama di taksirnya.
Setelah kejadian yang luar biasa itu, kedua
sekolah mengadakan rekonsiliasai yang tak ada hasilnya. Tawuran antar kedua
sekolah tetap terjadi tujuh bulan setelah perdamaian itu. Rama bersyukur,
dengan keadaannya sekarang dia tidak lagi bisa melakukan hal buruk yang
membuatnya jatuh dilubang yang sama.
Masih banyak Rama di luar sana yang belum
menemukan jalan pulang, masih belum mengerti sepenuhnya tentang apa yang
dilakukannya. Para Rama yang memecahkan jerawat batu dengan tawuran di
jalan-jalan. Para Rama yang memecahkan jerawat batu pubertas dengan
adegan-adegan telanjang di depan kamera atau tempat-tempat gelap yang rahasia.
Mereka rayakan kesedihan dengan narkoba. Lalu siapa yang pantas disalahkan?
Di sekolah, Guru-guru bagai diktator yang
meneror agar menanam pohon masa depan yang seragam–disiram hapalan dan
dipupuki serangkaian ujian yang membuat takut. Tuan dan Puan pemerhati
pendidikan menganggapnya anak-anak sampah dan tak punya masa depan. Para
orangtua sibuk disaat mereka merindukan kasih sayang. Dimana pemerintah,
penegak hukum dan pemuka agama? Kenapa pelajaran moral tidak sungguh-sungguh
didapatkan dari lingkungan nyata? [1]
Menambahkan contoh selain Rama, aku
menyelesaikan SMA di salah satu sekolah yang “hobi” tawuran. Sudah tentu,
pelakunya teman-temanku sendiri, diantaranya kakak kelas yang harus tinggal
kelas dan setrata denganku. Di sekolahku, banyak terdapat genk-genk yang tidak
hanya dianggotai lelaki, beberapa dari mereka perempuan. Bulling rasanya juga
menjadi catatan hitam dibeberapa sekolah, setiap angkatan di wajibkan
meneruskan dendam yang tak diketahui awal dan alasannya. Untuk menjadi
anggotapun, harus melalui tahapan-tahapan yang tidak masuk akal menurutku.
Tawuran dengan sekolah lain salah satunya. Bahkan waktu aku sudah menjadi
alumni, aku mendengar salah satu adik kelasku juga meregang nyawa lewat tawuran
pelajar. Bukan hal yang patut dibanggakan tentunya.
Novel ini, aku rasa cukup membantu para
“pencari” untuk menemukan kembali tujuan hidupnya. Menyadarkan dan mewakilkan
curahan hati para pelajar yang sudah gerah di seragamkan. Menemani menyusun
lagi reruntuhan percaya diri tanpa hal-hal negatif yang merugikan. Apalagi
ditemani oleh alunan lagu dari Bondan & Fade2Black yang inspiratif.
Hanya saja, menurutku ada beberapa pandangan
yang aku rasa terlalu berlebihan. Seperti terlalu menyudutkan posisi guru
sebagai pendidik, seseorang yang juga manusia sebagai makhluk tak sempurna. Sedangkan
dibalik semua itu, ada sistem yang telah diatur dan membuat pahlawan tanpa jasa
itu bagai boneka. Heh, Pahlawan tanpa tanda jasa?
Diluar semuanya, setiap pribadi dirasa perlu
untuk berkontemplasi. Apa yang salah dengan bangsa ini? Apa saja kontribusi
yang telah dilakukan untuk semua persoalan yang muncul dan kita saksikan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar