Creative Writhink itu AHA Moment
Oleh Sinta Novizah
Riuh suara diskusi telah terdengar memenuhi gedung Gramedia Blok M di Selatan
Jakarta, namun di mana jelasnya masih dicari-cari. Dengan bantuan seorang karyawan toko buku tempat
suara itu berasal, akhirnya saya menemukan yang sejak tadi dicari. “Coba naik ke lantai tiga,”
intruksinya. Dengan nafas agak terengah, lantai tiga pun terjamahi.
“Keprihatinan tentang Tuhan,” Seorang pria melontarkan jawabannya, entah
jawaban untuk pertanyaan apa. Ada tiga orang yang duduk di depan sana, dua pria
dan seorang wanita yang mengkomandoi acara bedah buku tersebut.
Saat sedang asik bercakap-cakap, mendadak protes dari salah satu pria
yang duduk di sofa nyaman itu. “Tunggu yang dari Cipete dulu,”
pengumuman itu menjeda Fahd Pahdephie untuk menjawab pertanyaan yang
dilayangkan lagi padanya.
Tawa pun pecah seketika. Fahd Pahdepie, Seorang peneliti yang dengan karyanya
mencoba untuk mengubah paradigma setiap orang yang membaca bukunya. Meluruskan
tentang tulisan fiksi yang masih dipandang sebelah mata. Waktu pun berjalan
beriringan, satu per satu sesi terlewatkan. Nah, tiba saatnya obrolan lebih intim
dibuka. Jabat tangan dilumuri ramah senyum tampil dalam raut muka Fahd Pahdephie yang ramah. “Oh iya, kita udah janjian ya,” katanya membuka percakapan.
Sambil menarik kursi yang berada paling belakang, Fahd Djibran, nama pena
dari Fahd Pahdephie membuka percakapan tentang Creative Writhink. Menurutnya Creative
Writhink bukanlah hal yang baru, hanya saja belum ada nama untuk istilah
tersebut. “Saya gak bisa bilang kalau ini punya saya, walaupun saya yang
pertama kali mengenalkannya,” jawab pria yang lahir di Cianjur, 25 tahun silam itu.
Masih dengan suasana yang bising dan kursi-kursi yang mulai tak bertuan,
pria yang menjadi salah satu nominator dalam Anugerah Kekayaan
Intelektual Luar Biasa bidang kreatif ini mulai menambahkan penjelasan Creative Writhink yang menjadi pedoman
di setiap karyanya. Creative Writhink adalah
memberikan nilai lebih pada tulisan sehingga orang lain tertarik untuk
membacanya serta mendapatkan imajinasi baru. “Gak mesti terpaku pada format tulisan dan kebiasaan, tapi
menghadirkan bentuk-bentuk baru,” tutur Fahd, biasa ia disapa, yang saat itu
ditemani oleh keluarga dan rekan kerjanya.
Senja yang semakin menua menemani alumnus Hubungan Internasional
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini menjelaskan lebih dalam. Creative Writhink itu AHA moment, yaitu membentangkan karya
tidak untuk menggurui tetapi untuk membangkitkan pengetahuan dibawah sadar.
“Karya yang berhasil itu adalah karya yang berhasil mengangkat ingatan di bawah
sadar,” ucap bapak dari satu orang putra ini.
Membuka seribu imajinasi bagi pembaca adalah tugas dari penulis Creative Writhink, caranya dengan
membebaskan tulisan, tidak terpaku pada format serta ‘rajin’ bereksperimen.
Begitu kata penulis terbaik DAR! Mizan Unlimeted Creativity Award tahun
2006 itu.
Suara petikan gitar nampaknya mengagetkan Fahd yang spontan menoleh ke
suara itu berasal. Biasanya tema yang melatar belakangi setiap karyanya tidak
jauh dari empat tema yang menurutnya mampu membawa perubahan dunia di masa
depan, yaitu kaum muda, perempuan, spiritualizm dan komunitas.
Seperti A Cat In
My Eyes, Curhat Setan, Rahim, Menatap Punggung Muhammad, Yang Galau Yang
Meracau, Qum! dan Hidup Berawal Dari Mimpi. Lantas hal tersebut tak
membuatnya mau disebut sebagai penulis. “Pekerjaan saya bukan penulis, saya menulis untuk
berkreativitas,” papar Fahd yang pernah menjadi wakil indonesia untuk pertukaran tokoh
muda muslim Indonesia-Australia.
Lahir di keluarga akademisi membuatnya gemar membaca dan menulis. Perihal inspirasi menulis, Fahd mendapatkannya dari berbagai cara, mulai
dari membaca banyak buku, diskusi, mendengarkan lagu sampai ngobrol-ngobrol
ringan.
Obrolan terjeda, suasana toko buku yang tadinya ramai kini mulai
ditinggalkan pengunjung. Fahd pun lebih jauh masuk ke masa ia mengenyam
pendidikan di Madrasah Aliyah (MA) Darul Arqam Muhammadiyah, Garut. Disana ia
mulai lebih mengembangkan kreativitasnya, membuat PIN perdamaian sampai
mencetak seribu eksemplar majalah hanya dengan modal seribu rupiah.
Beberapa tahun sebelumnya, di masa Sekolah Menengah Pertama (SMP), Fahd
telah menulis dan sudah mempunyai rencana tentang tulisannya. “Dengan
banyak menulis maka banyak juga mendiskusikan sesuatu,” jelasnya sambil
membenarkan posisi duduk. Fahd juga membataskan setiap karyanya. “Saya sengaja
membuat tulisan saya dicari, biar keren dan memang bukunya keren,” tuturnya
dengan air muka bersahabat.
Menulis kreatif itu tidak boleh menutup diri, harus bisa meluaskan
pergaulan. Menurut Fahd, anak jaman sekarang hanya berkutat dengan orang-orang
yang ada disekelilingnya saja. Padahal dengan banyak bertemu dan mengenal orang
baru, kita menjadi ‘kaya’. “Generasi
sekarang hidupnya disitu-situ aja,”
ungkapnya dengan nada sedikit kesal.
Menelisik lebih dalam lagi, Fahd yang mengaku suka menulis dari sekolah dasar
ini pernah mentraktir
teman-teman sekelasnya dari hasil “Si Jago” yang dimuat dalam Koran di Bandung
pada rubrik PR kecil. Dengan semangat, Fahd membacakan puisi yang ia tulis
kurang lebih 20 tahun lalu. Baginya, menulis adalah cara membagi gagasan kita
kepada orang lain. “Menulis itu untuk berbagi,” katanya cepat.
Tak terasa senja telah berganti pekat, Fahd pun harus bersiap untuk kepergiannya menuntut ilmu di Australia esok.
Tidak berhenti berkarya dan selalu punya rencana kedepan adalah prinsip yang
terus ia pegang. Menurutnya,
tidak ada senioritas dalam dunia menulis. Ucapan yang dititipkan untuk
pemula di industri penerbitan pun tidak panjang. “PD dong!”
nb: Profil ini pernah masuk dalam Majalah Orientasi edisi Januari 2012