Selasa, 10 Juli 2012

Mengulik Si Jago yang Kreatif


Creative Writhink itu AHA Moment
Oleh Sinta Novizah


Riuh suara diskusi telah terdengar memenuhi gedung Gramedia Blok M di Selatan Jakarta, namun di mana jelasnya masih dicari-cari. Dengan bantuan seorang karyawan toko buku tempat suara itu berasal, akhirnya saya menemukan yang sejak tadi dicari. “Coba naik ke lantai tiga,” intruksinya. Dengan nafas agak terengah, lantai tiga pun terjamahi. “Keprihatinan tentang Tuhan,” Seorang pria melontarkan jawabannya, entah jawaban untuk pertanyaan apa. Ada tiga orang yang duduk di depan sana, dua pria dan seorang wanita yang mengkomandoi acara bedah buku tersebut.

Saat sedang asik bercakap-cakap, mendadak protes dari salah satu pria yang duduk di sofa nyaman itu. “Tunggu yang dari Cipete dulu,” pengumuman itu menjeda Fahd Pahdephie untuk menjawab pertanyaan yang dilayangkan lagi padanya.

Tawa pun pecah seketika. Fahd Pahdepie, Seorang peneliti yang dengan karyanya mencoba untuk mengubah paradigma setiap orang yang membaca bukunya. Meluruskan tentang tulisan fiksi yang masih dipandang sebelah mata. Waktu pun berjalan beriringan, satu per satu sesi terlewatkan. Nah, tiba saatnya obrolan lebih intim dibuka. Jabat tangan dilumuri ramah senyum tampil dalam raut muka Fahd Pahdephie yang ramah. “Oh iya, kita udah janjian ya,” katanya membuka percakapan.

Sambil menarik kursi yang berada paling belakang, Fahd Djibran, nama pena dari Fahd Pahdephie membuka percakapan tentang Creative Writhink. Menurutnya Creative Writhink bukanlah hal yang baru, hanya saja belum ada nama untuk istilah tersebut. “Saya gak bisa bilang kalau ini punya saya, walaupun saya yang pertama kali mengenalkannya,” jawab pria yang lahir di Cianjur, 25 tahun silam itu.

Masih dengan suasana yang bising dan kursi-kursi yang mulai tak bertuan, pria yang menjadi salah satu nominator dalam Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa bidang kreatif ini mulai menambahkan penjelasan Creative Writhink yang menjadi pedoman di setiap karyanya. Creative Writhink adalah memberikan nilai lebih pada tulisan sehingga orang lain tertarik untuk membacanya serta mendapatkan imajinasi baru. “Gak mesti terpaku pada format tulisan dan kebiasaan, tapi menghadirkan bentuk-bentuk baru,” tutur Fahd, biasa ia disapa, yang saat itu ditemani oleh keluarga dan rekan kerjanya.

Senja yang semakin menua menemani alumnus Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini menjelaskan lebih dalam. Creative Writhink itu AHA moment, yaitu membentangkan karya tidak untuk menggurui tetapi untuk membangkitkan pengetahuan dibawah sadar. “Karya yang berhasil itu adalah karya yang berhasil mengangkat ingatan di bawah sadar,” ucap bapak dari satu orang putra ini.

Membuka seribu imajinasi bagi pembaca adalah tugas dari penulis Creative Writhink, caranya dengan membebaskan tulisan, tidak terpaku pada format serta ‘rajin’ bereksperimen. Begitu kata penulis terbaik DAR! Mizan Unlimeted Creativity Award tahun 2006 itu.

Suara petikan gitar nampaknya mengagetkan Fahd yang spontan menoleh ke suara itu berasal. Biasanya tema yang melatar belakangi setiap karyanya tidak jauh dari empat tema yang menurutnya mampu membawa perubahan dunia di masa depan, yaitu kaum muda, perempuan, spiritualizm dan komunitas.
Seperti  A Cat In My Eyes, Curhat Setan, Rahim, Menatap Punggung Muhammad, Yang Galau Yang Meracau, Qum! dan Hidup Berawal Dari Mimpi. Lantas hal tersebut tak membuatnya mau disebut sebagai penulis. “Pekerjaan saya bukan penulis, saya menulis untuk berkreativitas,” papar Fahd yang pernah menjadi wakil indonesia untuk pertukaran tokoh muda muslim Indonesia-Australia.

Lahir di keluarga akademisi membuatnya gemar membaca dan menulis. Perihal inspirasi menulis, Fahd mendapatkannya dari berbagai cara, mulai dari membaca banyak buku, diskusi, mendengarkan lagu sampai ngobrol-ngobrol ringan.

Obrolan terjeda, suasana toko buku yang tadinya ramai kini mulai ditinggalkan pengunjung. Fahd pun lebih jauh masuk ke masa ia mengenyam pendidikan di Madrasah Aliyah (MA) Darul Arqam Muhammadiyah, Garut. Disana ia mulai lebih mengembangkan kreativitasnya, membuat PIN perdamaian sampai mencetak seribu eksemplar majalah hanya dengan modal seribu rupiah.

Beberapa tahun sebelumnya, di masa Sekolah Menengah Pertama (SMP), Fahd telah menulis dan sudah mempunyai rencana tentang tulisannya. “Dengan banyak menulis maka banyak juga mendiskusikan sesuatu,” jelasnya sambil membenarkan posisi duduk. Fahd juga membataskan setiap karyanya. “Saya sengaja membuat tulisan saya dicari, biar keren dan memang bukunya keren,” tuturnya dengan air muka bersahabat.

Menulis kreatif itu tidak boleh menutup diri, harus bisa meluaskan pergaulan. Menurut Fahd, anak jaman sekarang hanya berkutat dengan orang-orang yang ada disekelilingnya saja. Padahal dengan banyak bertemu dan mengenal orang baru, kita menjadi ‘kaya’.  “Generasi sekarang hidupnya disitu-situ aja,” ungkapnya dengan nada sedikit kesal.

Menelisik lebih dalam lagi, Fahd yang mengaku suka menulis dari sekolah dasar ini pernah mentraktir teman-teman sekelasnya dari hasil “Si Jago” yang dimuat dalam Koran di Bandung pada rubrik PR kecil. Dengan semangat, Fahd membacakan puisi yang ia tulis kurang lebih 20 tahun lalu. Baginya, menulis adalah cara membagi gagasan kita kepada orang lain. “Menulis itu untuk berbagi,” katanya cepat.

Tak terasa senja telah berganti pekat, Fahd pun harus bersiap untuk kepergiannya menuntut ilmu di Australia esok. Tidak berhenti berkarya dan selalu punya rencana kedepan adalah prinsip yang terus ia pegang. Menurutnya, tidak ada senioritas dalam dunia menulis. Ucapan yang dititipkan untuk pemula di industri penerbitan pun tidak panjang. “PD dong!”

nb: Profil ini pernah masuk dalam Majalah Orientasi edisi Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar