Hari itu aneh, belum habis
kekesalanku karena “Meo” sahabatku yang setia menemaniku kuliah masuk “rumah
sakit”, aku malah bertemu dengan pria aneh saat aku memarkir “beatom” di pelataran
rumah. Pria itu berperawakan pendek, berkulit sawo matang dan memakai pakaian
yang membuat dahi mengernyit serta mata memicing. Pakaiannya begitu ‘ramai’
dengan butiran-butiran hiasan bertuliskan AR. Entah apa artinya, mungkin
singkatan namanya atau mungkin kekasihnya. Namun belakangan aku tahu, AR itu
bukan singkatan dari namanya. Ya sudahlah, mungkin itu nama singkatan
kekasihnya. Aku tidak mau ambil pusing tentang itu. Apalagi aku sendiri sedang
dikuasai oleh kemarahan yang bodoh.
Kemarahanku semakin menjadi-jadi,
pria itu terus saja mengikutiku. Semakin aku menghindar maka semakin gencar
juga ia membuka pembicaraan denganku. Huh,
aku menyerah untuk menghindarinya. Dia semakin nekat saja. Dengan setengah
hati, akhirnya aku meladeninya ngobrol. Namun, arah obrolannya semakin tidak
aku pahami. Dia menceritakan sesuatu yang tak lazim dan sulit aku percayai.
Di suatu ketika, saat belum lama aku
meresponnya, ia bercerita tentang pekerjaannya. Pekerjaan yang benar-benar
tidak pernah aku tahu apalagi temui. Hanya darinyalah aku tahu bahwa ada
pekerjaan semacam itu. Aneh. Aku kira, dia hanya seorang pemalas yang kerap aku
temui saat makan dipinggir jalan. Mereka bercerita dan berharap dikasihani,
setelah itu akan diberi uang. Tapi dia berbeda.
Semakin lama, keanehan itu mencair,
aku semakin tertarik dengan ceritakannya. Ia bercerita tentang aku, masa aku
masih jadi segumpal darah dalam ruang hangat penuh cinta. Aku tidak ingat itu,
tapi dia? Dari mana dia tahu semua itu? Siapa dia? Dia saudaraku? Ah, aku
semakin bingung dibuatnya.
Dia mulai bercerita lagi tentang
profesinya, tentang peraturan-peraturan yang tertata rapi dalam kata-kata.
Entah peraturan itu sama seperti peraturan-peraturan di negeriku yang tinggal
raga tanpa nyawa pengamalannya, atau bahkan peraturan yang representative untuk
dicontoh. Aku selalu bingung kalau mengingatnya, bayangkan saja, dia bilang di
tempat asalnya telah dikeluarkan Surat Keputusan No. 89.799-XXII tahun 2,3 M
tentang pembentukan Satuan Tugas Pengembalian Kepercayaan Dan Sakralitas Alam
Rahim. Peraturan macam apa itu? Kemarahanku yang tadi memuncak berubah menjadi
kebingungan yang ujungnya nanti jadi kegalauan. Biasa anak muda, apapun yang
dialami pada akhirnya menjadi kegalauan.
Lebih jauh, dia menceritakan tentang
urutan perkembanganku selama dalam kantung rahim Mama, bagaimana perjuangannya
hingga aku bisa melihat dunia dan mengawalinya dengan tangisan. Dia tahu, aku
bingung.
Mungkin dia sadar akan
kebingunganku, tiba-tiba dia berkata. “Kamu memang gak bakal ingat, karena kamu lewat terowongan Vaghana pas lahir,”
katanya.
“Terowongan Vaghana?” tanyaku
spontan.
“Iya, terowongan dengan cairan
kental yang membuat semua ingatanmu tentang alam rahim terhapus,” jawabnya
dengan senyum.
Dia juga mengingatkanku tentang pria
tua yang membawa buku besar, yang bertanya padaku saat masa peralihanku dari
alam ruh ke alam rahim. Kira-kira usiaku empat bulan dalam kandungan waktu itu.
Aku benar- benar lupa, tapi dia berusaha mengingatkanku. Katanya lelaki tua itu
banyak bertanya padaku, bertanya tentang kesiapan dan janjiku yang harus patuh
pada Raja Semesta dan peraturan yang telah dikukuhkan di Kerajaan Semesta.
Sekuat apapun dia mengingatkanku, aku tetap tidak ingat. Namun, ada sesuatu
dalam diriku yang mengamini penjelasan itu. Hal tersebut yang membuatku tetap
bertahan diposisiku dan masih setia mendengar cerita pria itu.
Ceritanya terjeda, aku masuk ke
dalam rumah untuk mengambil minum dan beberapa makanan untuk pria aneh
tersebut. Seperti sudah tahu aku akan mengambilkannya minum, dia memesan
kepadaku untuk menyuguhkan minuman berwarna yang dingin. “Hari ini terik
sekali,” ujarnya memberi penjelasan tentang minuman yang dipilihnya.
Kembali dari warung, karena tidak
ada minuman berwarna di rumahku, pria itu melanjutkan ceritanya. Panjang lebar
dia bercerita tentangku, ya… tentangku. Aku masih heran, bagaimana dia bisa
lebih tahu tentangku dibanding aku sendiri. Apa ini yang dinamakan krisis jati
diri? Aku kurang mengerti masalah apa tadi itu yang aku bilang? Oh.. iya krisis
jati diri. Aku kurang mengerti, nanti deh
aku tanya-tanya sama temanku yang lebih mengerti itu.
Yang paling unik dari ceritanya
adalah ketika dia bercerita bahwa aku pernah bertemu dengan Kucing Yang Bisa
Berbicara, Ikan Mas Yang Bekerja Sebagai Koki, Amadeus, Aynu Si Gadis Buta
Penunjuk Jalan, Professor Waktu, Mahavatara dan terakhir Nenek Olav. Semuanya
begitu unik, apalagi pesan yang mereka sampaikan secara tersirat maupun
tersurat.
Seperti Kucing yang bisa berbicara
itu, dia mengajariku tentang tujuan hidup. Menyarankan padaku untuk selalu
mempunyai rencana yang matang sebelum melakukan perjalanan, mengambil keputusan
yang tepat. Atau ikan mas yang bekerja sebagai koki dengan menu andalannya
paralea, dia meyakinkanku untuk selalu peka akan rasa. Karena menurutnya, dalam
ukuran tertentu rasa yang enak dan awalnya jadi favorit bisa berubah menjadi
rasa yang tidak enak.
Ada lagi, Amadeus sang komposer handal
yang menghimbauku untuk selalu mendengarkan, menangkap makna dibalik
suara-suara yang terdengar. Hhmm.. yang jadi favoritku memang si gadis buta
penunjuk jalan itu, Aynu. Meskipun buta dia mampu menunjukkan jalan keluar dari
labirin. Hebat bukan? Tapi yang lebih hebat lagi dia mengisyaratkan padaku
untuk mematikan mata dan menyalakan hati.
Masih ada professor waktu yang
memarahiku karena boros waktu, ya.. aku memang harus lebih hemat waktu.
Kemudian Mahavatara, seorang yang tampan dan berwibawa yang mengajarkanku
tentang budi pekerti. Yang terakhir Nenek Olav, dia mengoleksi Koran-koran
hanya untuk melihat kabar baik di dalamnya. Meyakinkanku bahwa kebaikan akan
selalu ‘menang’. Begitu pesan yang bisa aku tangkap dari cerita pria aneh tadi.
Pria aneh itu tetap semangat
meskipun panas matahari membakar kulitnya yang memang sudah hitam. Dia meneruskan
ceritanya, membuatku ingin berteriak dan menyesali kesia-siaan hidupku selama
ini. Selain itu, membuatku bersyukur karena dilahirkan di tengah keluarga yang
menginginkanku lahir di dunia.
Dia menceritakan tentang bayi-bayi
yang tak berdosa yang karena keberadaannya tidak diinginkan maka dibunuh dengan
cara diaborsi. Aku jadi merasa bersalah pada Mama, karena tiga hari lalu tega
mendiamkannya hanya karena tubuh rentaku yang aku rusak sendiri dengan tidak
dibolehkan istirahat. Maaf ya ma. Aku juga merasa bersalah pada Ayah, meskipun
terlihat cuek dan tidak peduli, sebenarnya aku tahu dia sangat amat khawatir
padaku. Aku jadi ingat pesan Ayah waktu aku sering pulang malam. “Kak, kalo pulang malam terus bannya bocor
langsung pulang aja ya. Gak usah
ditambal, takut ada yang ngawasin,” begitu katanya. Ah.. aku durhaka karena
terlalu egois mengutamakan alasanku sendiri.
Tiba waktunya pria aneh itu
menceritakan tentang kelahiranku, waktu itu hari jumat. Tepat usai para pria
muslim menunaikan ibadah shalat jumat. Waktu pertaruhan antara hidup dan mati
yang dialami Mama. Saatnya aku harus ucapkan selamat tinggal pada alam rahim,
melewati terowongan Vaghana yang seketika menghilangkan ingatanku selama di
alam rahim.
Raut muka pria itu sedih, dia bilang
sendiri kalau dia sedih. Karena dengan menceritakan tentang kelahiran, itu
artinya dia akan menamatkan ceritanya tentang alam rahim. Dengan kata lain, ia
harus pamit dan tidak akan bertemu lagi dengan kliennya.
Dan saat itu tiba, dia telah usai
bercerita tentang kelahiran. Setelah menghabiskan teguk minumannya yang
terakhir, pria itu berpamitan dan tugasnya selesai. Dengan langkah yang
terpincang-pincang dia mulai hilang dari pandanganku. Aku mengucapkan
terimakasih atas cerita menariknya.
Kini, setelah beberapa hari pria itu
tidak mendatangiku lagi, aku baru sadar. Jangan-jangan dia Dakka Madakka yang
di ceritakan oleh juru dongeng Fahd. Perawakannya sama, ceritanya pun senada.
Ya Tuhan.. aku terlambat menyadarinya. Ternyata dia adalah Dakka, si pengabar
berita dari alam rahim. Maaf ya karena aku sempat sangsi pada ceritamu Tuan
Dakka.
Dikutip
dan disarikan dari Novel Rahim Karya Fahd Djibran.